Kamis, 08 Mei 2014

Alat Musik Kuriding (Guriding)

 

Kuriding (atau ada juga yang menyebutnya Guriding) adalah alat musik tradisional asli buatan nenek moyang urang Banjar. Kuriding bisa terbuat dari pelepah enau, bambu ataupun kayu dengan bentuk kecil, dan memiliki alat getar (tali) serta tali penarik. Dimainkan dengan cara ditempelkan di bibir sambil menarik gagang tali getar yang akan menghasilkan bunyi. Dengan ritme tertentu, bunyi yang dihasilkan akan terdengar sangat indah dan merdu.
Mitos asal-usul kuriding menarik untuk disimak. Syahdan, Kuriding adalah milik seekor macan di hutan Kalimantan Selatan. Suatu ketika, sang macan meminta anaknya untuk memainkan guriding. Namun, sang anak justru mati karena tenggorokannya tertusuk guriding. Akibatnya sang macan mewanti-wanti agar anak keturunannya tidak lagi memainkan guriding.
Dalam perkembangannya, mitos tersebut menjadi dasar cerita rakyat yang beredar pada masyarakat Banjar, bahwa kuriding dipercaya sebagai alat ampuh untuk mengusir macan. Urang Banjar dahulu juga menggantungkan atau meletakkan Kuriding di atas tempat tidur anak-anak mereka, sebagai simbol penolak bala.

Dalam kehidupan sosial dan budaya urang Banjar, kuriding memiliki fungsi guna yang beragam. Yaitu sebagai alat untuk pelipur lara di kala sepi dan melepas lelah usai bekerja di kebun atau di hutan, sebagai alat untuk mengingatkan mereka akan leluhur dan sebagai media yang disakralkan.
Fungsi-fungsi tersenut masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Banjar hingga kini. Akan tetapi, sudah sangat jarang ada yang memainkan atau menyimpannya, kecuali mereka yang masih peduli dengan budaya tradisi.
Keberadaan Kuriding saat ini sangat memprihatinkan, bahkan hampir punah. Kuriding kini hanya dimainkan oleh generasi tua yang tinggal di kawasan pedesaan. Generasi muda Banjar, sudah enggan memainkan Kuriding. Karena selain di anggap sudah ketinggalan zaman, para generasi muda di Banua lebih senang memainkan alat musik modern.
Kuriding atau Guriding merupakan peninggalan leluhur yang telah turut menyumbang kekayaan budaya di Kalimantan Selatan ini mestinya terus dipelihara. Mengingat keberadaannya yang memprihatinkan dan ini merupakan satu pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah daerah serta para pemerhati budaya untuk menyelamatkan Kuriding/Guriding dari kepunahan.
Alat musik Kuriding termasuk dalam kategori alat musik "Jew's Harp" yang diduga merupakan alat musik paling tua yang ada di dunia. Sebarannya bukan hanya di Asia, namun juga terdapat di Benua Eropa, dengan nama yang berbeda-beda dan bahan beragam. Dari sisi produksi suara, tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan.  Ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul) dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang seperti Kuriding.
 
 
 
Di daerah lain di Indonesia juga ada alat musik sejenis Kuriding yang saat ini kondisinya juga sudah sangat langka.  Alat musik seperti itu terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta, biasanya dimainkan saat menjelang musim panen padi tiba dan dikenal dengan nama "Rinding".
Saat alat musik tersebut dimainkan, akan terdengar alunan nada bunyi yang unik dari bambu pipih yang ditiup dan bambu bulat yang dipukul.
Di Sunda, alat musik sejenis Kuriding dikenal dengan nama "Karinding". Alat musik tersebut sudah di kenal dalam kehidupan masyarakat di tatar Sunda sejak abad ke-15. Dalam Bahasa Sunda, penyebutan Karinding juga merujuk pada Kakarindingan, yaitu sejenis serangga bersuara nyaring yang hidup di air sawah. Saat ini, Karinding dapat dijumpai di Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Di Pulau Dewata, Bali, alat musik sejenis Kuriding dinamakan "Genggong". Tradisi genggong dapat ditemui di Desa Batuan, Gianyar. Genggong dimainkan sebagai pengiring tari, yaitu tari Kodok dan sebagai sajian musik instrumental.
Untuk membunyikannya, genggong dipegang dengan tangan kiri dan ditempelkan di bibir. Tangan kanan memetik "lidah"nya dengan jalan menarik tali benang yang di ikatkan pada bagian ujung. Perubahan nada dalam melodi genggong dilakukan dengan mengolah posisi atau merubah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.


Kuriding Hampir Punah



Penyelamatan kuriding perlu dan harus segera dilakukan. Karena banyak sudah contoh alat musik sejenis di derah lain yang sekarat dan hampir punah, namun ada pula yang begitu pesat kemajuannya. Kita patut belajar banyak dan terus menggali informasi bagaimana di daerah lain yang mana alat musik sejenis kuriding bisa jauh lebih dikenal.
 
Tentunya perlu usaha semua pihak untuk pelestariannya, termasuk kita generasi muda Banjar sebagai pewaris budaya yang patut dibanggakan. Kuriding dapat saja di kolaborasikan dengan alat-alat musik modern, sehingga menghasilkan karya musik yang sesuai dengan selera anak muda saat ini.
 
Penggiat seni di Taman Budaya Kalsel, kuriding mulai digunakan dalam beberapa pementasan baik itu pementasan musik, sastra maupun theater, dengan harapan kuriding menjadi alat musik yang sama dalam hal penggunaannya dengan alat musik modern ataupun alat musik tradisional lainnya.
Di Sumatra Utara, ada alat musik sejenis Kuriding dengan nama Saga-saga. Dari informasi yang kami dapatkan, sudah tidak ada lagi pembuat dan orang yang memainkannya. Semoga hal itu tidak terjadi dengan kuriding.
Di Jawa Barat ada Karinding yang melalui peran Abah Olot, kini banyak dikenal. Ada pula Asep Nata yang membuat Karinding Towel. Karinding kini bisa bersanding dan dimainkan bersama alat musik modern.
Di Bali, peran Pa Nyoman Suwida dan kawan-kawan yang terus mengenalkan kepada turis yang datang ternyata sangat menunjang kemajuan alat musik Genggong. Bahkan di Papua, setiap ada Festival Lembah Baliem selalu diadakan lomba memainkan pikon yang juga merupakan alat musik sejenis Kuriding.


(Sumber : pusatkajiankebudayaanbanjar.com, Julak Larau dan Google Image)

Jumat, 25 April 2014

Kuda Gepang



 


SEJARAH

Kuda Gepang (Kuda Gipang) adalah tarian tradisional masyarakat Banjar yang terbilang mulai langka. Beberapa pelaku seni yang masih memainkan tari ini terdapat di Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
      Beberapa waktu lalu kesenian tari Kuda Gepang dari Padang Batung ikut memeriahkan Pawai Budaya Festival Pasar Terapung. “Saparundutan nang main ini kada urang lain,” ujar seorang anggota Sanggar Tari Tunas Muda, Padang Batung. Maksudnya, semua penari Kuda Gepang bukan orang lain, tapi berasal dari satu keluarga besar. Penari Kuda Gepang termuda Farida, 3 tahun 7 bulan, ikut pawai bersama saudara-saudara sepupu, saudara-saudara orangtuanya, hingga kakeknya.
      Bagi mereka yang biasa menyaksikan Kuda Lumping, mungkin akan heran melihat gaya penari Kuda Gepang Banjar yang tidak menunggang kudanyanya, melainkan dikepit di ketiak. Kenapa demikian?
      Menurut cerita, itu karena raja Banjar zaman dulu sakti-sakti. Alkisah, Lambung Mangkurat berlayar ke Jawa dengan kapal Prabayaksa untuk menemui Raja Majapahit. Di sana ia disambut oleh Gajah Mada dan kemudian diantar bertemu Raja Majapahit.
      Seminggu di istana, Lambung Mangkurat berniat pamit pulang ke Negara Dipa. “Wayah parpisahan raja Majapahit mambari saikung kuda putih nang ganal lagi gagah, kuda nitu paling harat di karajaan Majapahit,” tulis budayawan Syamsiar Seman dalam bukunya Burung Karuang, Basa Banjar Gasan SD Kelas 3. Maksudnya, saat perpisahan raja Majapahit memberikan hadiah seekor kuda besar berwarna putih dan gagah, kuda terbaik di kerajaan Majapahit.
      Tumenggung Tatah Jiwa, pengiring Lambung Mangkurat menyarankan agar sebelum dimasukkan ke kapal Prabayaksa, kuda pemberian raja Majapahit itu dicoba dulu ditunggang untuk mengetahui kehebatannya. 
      Tiga kali Lambung Mangkurat mencoba menunggang kuda itu, kuda itu selalu lumpuh. Akhirnya, Lambung Mangkurat mengeluarkan kesaktiannya, memejamkan matanya, lalu memeluk tubuh kuda itu. Badan Lambung Mangkurat bertambah besar, sementara tubuh kuda tampak mengecil.
     “Kuda itu dikacak Lambung Mangkurat, dikapit di katiak, tarus dibawa masuk kapal si Prabayaksa,” tulis Syamsiar lagi. Artinya, kuda itu dipegang Lambung Mangkurat, dikepit di ketiak, lalu dibawa naik ke kapal si Prabayaksa. Kapal Prabayaksa pun berlayar pulang ke Banjar Negara Dipa. Sejak itu lah hingga kini kesenian tari Kuda Gepang kudanya dijepit di ketiak.

 




Tidak Ada Unsur Magic
 
 

 TARI Kuda Gepang ini sangat mirip dengan salah satu permainan yang ada di pulau Jawa, yakni  Kuda Lumping. Namun ada beberapa perbedaan antara tari Kuda Gepang dengan Kuda Lumping.
 
Salah seorang Budayawan Kalsel, Drs Mukhlis Maman mengatakan ada beberapa perbedaan mendasar antara permainan Kuda Lumping dengan tari Kuda Gepang.
 
Dia menjelaskan, perbedaan dapat dilihat dari segi cara menggunakan properti, busana yang digunakan, maupun musik penggiringnya.
 
Jika diperhatikan dengan seksama, properti yang dibuat menyerupai kuda, antara Kuda Lumping dengan Kuda Gepang akan berbeda.
 
Punggung Kuda Gepang tidak dalam lekukannya, sementara Kuda Lumping lebih dalam. Hal ini berkaitan dengan cara penggunaannya. Kuda Lumping dimainkan dengan cara ditunggangi.
 
Sementara Kuda Gepang hanya dijepit pada bagian ketiak oleh para penarinya. Kemudian untuk musik penggiringnya, Kuda Gepang selalu diiringi dengan musik gamelan Banjar dan busana yang digunakan adalah pakaian kida-kida.
 
Selain berbeda propertinya, buasana yang digunakan dan musik penggiringnya, ternyata ada hal yang mendasar, yang menjadi perbedaan antara Kuda Lumping dengan Kuda Gepang.
 
"Cara menampilkannya, jika Kuda Lumping selalu menampilkan unsur magic, maka Kuda Gepang tidak demikian," ujar Mukhlis.
 
Selain itu, lanjutnya, penari Kuda Gepang selalu berperan sebagai seorang penari. Makanya dia tidak seperti pemain Kuda Lumping, yang suka memakan beling dan lain sebagainya.





Sumber : TribunNwes.com, Kabarbanjarmasin.com, google image dan Muhammad Syaputra

Senin, 21 April 2014

SINOMAN HADRAH

 
Kesenian Sinoman Hadrah merupakan seni tradisional khas Banjar yang bernafaskan Islam. Sinoman Haderah terdiri dari 2 kata yaitu “Sinoman” dan “Hadrah”. Sinoman artinya adalah kelompok qasidah pria untuk menyambut tamu-tamu atau orang-orang besar atau pejabat, sedangkan Hadrah artinya adalah menghadirkan dengan mengambil teknik (Depdikbud, 1978/1978 : 17)
Sinoman Hadrah merupakan kesenian yang sangat jelas mendapat warna Islam dan bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang di Kalimantan teruatama di Kalimantan Selatan. Sinoman Hadrah terdiri dari lima atau enam orang pendendang syair yang sekaligus penabuh rebananya, kemudian pemutar paying ubur-ubur dan ditambah dengan penari rudat berjumlah 20 s/d 30 orang atau sesuai dengan jumlah anggotanya sambil memegang bendera kecil berbentuk segitiga bertuliskan huruf arab (Asmaul Husna).
Sinoman hadrah adalah kesenian yang memadukan seni suara (qasidah) dan seni tari. Syair-syai yang dianyanyikan berisi puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah, dan juga syair-syair yang berisikan nasehat – nasehat dan petuah, dimana pesan pesan tersebut dilantunkan dengan penuh kegembiraan dan perasaan.

Sinoman Hadrah biasanya ditampilkan dengan pada acara – acara :
1. Penyambutan Tamu (Pejabat Pemerintah)
2. Peringatan Hari – Hari Besar Islam / Hari Nasional
3. Upacara Perkawinan dan Kegiatan Keagamaan

”Alat–-Alat Perlengkapan Sinoman Hadrah
1. Rebana (Terbang)
2. Babun
3. Ketipung
4. Tamborin (Gerincing)
5. Bendera
6. Payung Ubur-Ubur/Payung Besar Berhias
Sumber : diolah dari berbagai sumber, banjarmasinheritage.com


MULAI KURANG DIMINATI
Komitmen pemerintah Kabupaten Banjar dalam mengangkat dan mengembangkan kesenian khas Banjar terus digulirkan, diantaranya adalah dengan terus melakukan pembinaan seta menggelar berbagai lomba terhadap kesenian khas Banjar tersebut.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olah raga Kabupate Banjar pada Kamis 14 Agustus 2013, sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Hari Jadi Kabupaten Banjar ke 63, kembali menggelar lomba Sinoman Hadrah yang dilaksanakan di halaman Kantor Dinas setempat.


Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olah raga Kabupaten Banjar yang juga bertindak selaku Ketua Panitia kegiatan tersebut H. Abdul Gani Fauzi melaporkan, kegiatan Lomba Sinoman Hadrah tingkat Kabupaten Banjar tersebut bertujuan untuk terus melestarikan kesenian Hadrah yang saat ini mulai kurang diminati oleh kalangan generasi muda, selain itu para orang tua sesepuh sinoman hadrah pun mulai berkurang, sehingga keberadaan kesenian Sinoman Hadrah tersebut mulai berkurang.
Untuk itu pihaknya berharap, kepada para generasi muda mau untuk mempelajari kesenian sinoman hadrah, dimana dalam kesenian tersebut banyak sekali terselip nilai-nilai positif, baik itu nilai budaya, nilai sosial serta nilai-nilai keagamaan.

H. Abdul Gani Fauzi juga berkomitmen untuk terus melakukan pembinaan terhadap grup-grup yang sinoman hadrah yang ada di Kabupaten Banjar, salah satunya dengan cara menggelar kegiatan lomba-lomba terhadap kesenian tersebut.
Dengan demikian melalui lomba yang digelar rutin setiap tahun oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olah raga Kabupaten Banjar diharapkan perkumpulan sinoman hadrah yang ada dikabupaten Banjar dapat terus lestari, serta tetap mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat setempat.

Sementara itu keluar sebagai juara I pada lomba Sinoman Hadrah dalam rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Bajar ke 63 tahun 2013 tersebut adalah grup sinoman hadrah Al-Hikmah dari desa Sungai Rangas Hambuku, juara II diraih oleh grup Karya Baru dari desa Sungai Batang Ilir dan juara III diraih oleh grup Karya Masa dari desa Lok Baintan. Dalam kesempatan tersebut panitia juga memberikan hadiah kepada pemayung terbaik I yakni grup Karya Baru dan pemayung erbaik II diraih oleh grup Al-Hikmah keluar sebagai grup faporit adalah grup Karya Masa.
Para pemenang lomba mendapatkan hadiah berupa piala bergilir dan tropy serta uang pembinaan dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olah raga Kabupate Banjar . (Sumber Kantor Berita Kalimantan)

Kesenian MAMANDA di Kalimantan Selatan

           http://hasanzainuddin.files.wordpress.com/2008/07/mamanda.jpg 

Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri). Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan. Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.

Sejarah

Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama "Mamanda".

Aliran dan nilai budaya

Mamanda mempunyai dua aliran. Pertama adalah Aliran Batang Banyu yang hidup di pesisir sungai daerah Hulu Sungai yaitu di Margasari. Sering juga disebut Mamanda Periuk. Kedua adalah Aliran Tubau yang bermula tahun 1937 M. Aliran ini hidup di daerah Tubau, Rantau. Sering dipentaskan di daerah daratan. Aliran ini disebut juga Mamanda Batubau. Aliran ini yang berkembang di Tanah Banjar.
Pertunjukkan Mamanda mempunyai nilai budaya Yaitu pertunjukkan Mamanda disamping merupakan sebagai media hiburan juga berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat Banjar. Cerita yang disajikan baik tentang sejarah kehidupan, contoh toladan yang baik, kritik sosial atau sindiran yang bersifat membangun, demokratis, dan nilai-nilai budaya masyarakat Banjar.
Bermula, Mamanda mempunyai pengiring musik yaitu orkes melayu dengan mendendangkan lagu-lagu berirama melayu, sekarang beralih dengan iringan musik panting dengan mendendangkan Lagu Dua Harapan, Lagu Dua Raja, Lagu Tarima Kasih, Lagu Baladon, Lagu Mambujuk, Lagu Tirik, Lagu Japin, Lagu Gandut , Lagu Mandung-Mandng, dan Lagu Nasib.

Perkembangan Mamanda saat ini
 

Sekarang ini Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Bahkan mungkin, hanya sedikit generasi muda yang tahu kesenian ini. Jika kesenian asli daerah seperti Mamanda tak lagi mendapat perhatian generasi muda, jangan heran nantinya benar-benar punah.
Keberadaan kesenian bertutur seperti Mamanda Kecamatan Paringin Selatan dan Wayang Gong di Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan sudah sekarat. Kesenian, yang dulu jadi sarana warga mendapatkan hiburan sekaligus informasi, nyaris mati karena kurang mendapat apresiasi masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya melestarikan dengan menghadirkan di sejumlah even resmi seperti hari jadi kabupaten beberapa waktu lalu, tapi memang terbatas. Kendala lainnya banyak masyarakat kita kurang tertarik lagi.
Abdul Syukur, pelaku teater dan sastra Banjarmasin, mengatakan dulu saat ada Departemen Penerangan, kesenian bertutur lebih terangkat karena sering diminta tampil menyampaikan program Pemerintah, terutama di kalangan pedalaman. Tapi sekarang makin jarang sehingga banyak masyarakat jadi kurang mengenal.
Kendati begitu, kata dia, perlu adanya modifikasi agar kesenian tersebut dapat diterima semua kalangan lagi. Misalnya bahasa yang digunakan tidak melulu bahasa daerah setempat tapi dengan bahasa Indonesia.

Mamanda Bakal Tak Terdengar Lagi

MAMANDA dulunya sangat dikenal dan digemari masyarakat Kalimantan Selatan. Seni panggung sejenis teater yang diiringi musik seperti biola dan gendang menampilkan kisah tentang raja-raja ini, biasanya dipentaskan pada acara hajatan atau pesta rakyat.
Sayangnya, sekarang ini Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Bahkan mungkin, hanya sedikit generasi muda yang tahu kesenian ini. Jika kesenian asli daerah seperti Mamanda tak lagi mendapat perhatian generasi muda, jangan heran nantinya benar-benar punah.
Kekhawatiran punahnya kesenian asli Kalsel itu sebagaimana dikemukakan Kabag Humas Balangan, Alive Yosefah Love, saat sarasehan Media Pertunjukan Rakyat di Hotel Arum Banjarmasin, Rabu (23/7).
Dia mengatakan, keberadaan kesenian bertutur seperti Mamanda Kecamatan Paringin Selatan dan Wayang Gong di Kecamatan Juai Kabupaten Balangan sudah sekarat. Kesenian, yang dulu jadi sarana warga mendapatkan hiburan sekaligus informasi, nyaris mati karena kurang mendapat apresiasi masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya melestarikan dengan menghadirkan di sejumlah even resmi seperti hari jadi kabupaten beberapa waktu lalu, tapi memang terbatas. Kendala lainnya banyak masyarakat kita kurang tertarik lagi, keluhnya.
Abdul Syukur, pelaku teater dan sastra Banjarmasin, mengatakan dulu saat ada Departemen Penerangan, kesenian bertutur lebih terangkat karena sering diminta tampil menyampaikan program Pemerintah, terutama di kalangan pedalaman. Tapi sekarang makin jarang sehingga banyak masyarakat jadi kurang mengenal.
Kita berencana memasyarakatkan pesan-pesan pembangunan lewat kesenian. Kita usulkan bagaimana kesenian dapat direkam agar dapat dinikmati intens oleh masyarakat, katanya.
Direktur Kominfo Lembaga Media Tradisional, Khairil Anwar, mengungkapkan sekitar 1.800-an kesenian bertutur di Indonesia terancam punah. Contoh yang hilang seperti kesenian Natori di Kupang, Nusa Tenggara Timur, katanya.
Menurut Khairil, selain Departemen Pariwisata pihaknya juga bertanggung jawab menghidupkan lagi kesenian bertutur yang bermanfaat dalam penyebaran informasi pembangunan secara positif. Tugas itu, imbuhnya, termasuk melindungi aset Negara dari kepunahan atau klaim negara lain seperti terjadi pada kesenian Reog Ponorogo yang sempat diakui milik Malaysia.
Kendati begitu, kata dia, perlu adanya modifikasi agar kesenian tersebut dapat diterima semua kalangan lagi. Misalnya bahasa yang digunakan tidak melulu bahasa daerah setempat tapi dengan bahasa Indonesia.

(Sumber : Wikipedia, facebook bahasa BANJAR, Google Image dan Banjarmasin Post)

Rabu, 16 April 2014

Cerita Rakyat 'Puteri Junjung Buih"

Puteri Junjung Buih adalah seorang Raja Puteri dari Kerajaan Negara Dipa menurut Hikayat Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya mengaku sebagai keturunan dari puteri pribumi ini. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Ngabehi Hileer dan merupakan saudara angkat Lambung Mangkurat yang diperolehnya ketika "balampah" (bahasa Banjar : bertapa) yang muncul sebagai wanita dewasa dari dalam buih di sungai. Raja puteri ini kemudian menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang anak mereka yaitu Pangeran Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin, puteri dari Lambung Mangkurat (unsur pendiri negeri), kemudian mereka berdualah yang menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan Kepangeranan Kotawaringin.
Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih/Putri Junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara ke-1.
Menurut Drg Marthin Bayer, Puteri Junjung Buih adalah sama dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam masyarakat Dayak. Puteri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (tahun 1524), adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).
Dalam Perang Banjar, salah seorang puteri dari Panembahan Muda Aling yang bernama Saranti diberi gelar Poetri Djoendjoeng Boewih.


Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya. Tapi siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya diselimuti kisah legenda.
      Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera. Plaza itu lenyap seiring pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan tetap  ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.
      Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai suami Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah raja putri pertama di Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja Makedonia).
      Versi cerita rakyat, kemunculan Putri Junjung Buih ke dunia pun bak dongeng. Ia ditemukan dan muncul dari atas buih melalui hasil pertapaan Lambung Mangkurat, Patih Kerajaaan Negara Dipa. Dari kejadian inilah lalu ia mendapat nama Putri Junjung Buih. Masyarakat di Desa Balukung, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala mempercayai ulakan (pusaran air) di daerah mereka adalah merupakan tempat kemunculan sang putri.
      Versi yang lebih mudah dicerna akal diungkapkan oleh Anggraini Antemas dalam bukunya “Orang2 Terkemuka dalam Sedjarah Kalimantan. Ia menyebutkan ratu berparas cantik dan sewaktu kecil bernama Galuh Cipta Sari ini lahir di suatu kampung bernama Bangkiling, Kabapaten Tabalong.
      “Masih gelap sebenarnya asal usul sejarah kelahiran putri ini. Tiada diketahui tahun kelahirannya dan siapa orangtuanya,” demikian Anggraini. Ia memperkirakan Junjung Buih lahir sekitar tahun 1280.
      Junjung Buih dipelihara oleh nenek tua bernama Ning Bangkiling. Semasa kanak-kanak ia mempunyai saudara angkat namanya Indung Sijarang dan Pujung, putri dan putra Ning Bangkiling.
      Ketiga orang anak ini kemudian dibawa oleh orangtuanya dari Kampung Bangkiling ke pedusunan Balangan yang terletak di lembah gunung Batu Piring. Gunung Batu Piring tak berapa jauh dari Paringin, ibukota Balangan. Di sinilah mereka dibesarkan.
      Pada suatu hari ketika Galuh Cipta Sari sedang mandi dan mencuci di Sungai Balangan, tiba-tiba ia tergelincir dan terjatuh ke dalam air. Ia hanyut dan dibawa arus. Lambung Mangkurat yang sedang bersemedi untuk mencari seorang raja akhirnya menemukan gadis yang hanyut terbawa arus itu. Ketika ditemukan oleh Lambung Mangkurat, Galuh Cipta Sari terapung-apung di sungai, diselubungi oleh buih besar.
      Ada beberapa permintaan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Lambung Mangkurat sebelum ia boleh membawa putri tersebut ke darat. Antara lain: Galuh Cipta Sari minta dibuatkan mahligai yang tiang utamanya dari batung batulis (bambu bersurat), kain langgundi yang ditenun oleh 40 dara di Candi.
      Setelah segala permintaannya dipenuhi, Galuh Cipta Sari bersedia dibawa Lambung Mangkurat ke keraton Negara Dipa. Galuh Cipta Sari kemudian dinobatkan menjadi raja, sesuai amanat almarhum ayah Lambung Mangkurat. Namanya diubah menjadi Putri Jung Buih yang artinya putri tersebut ditemukan di dalam sebuah buih raksasa. - See more at: http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/siapa-putri-junjung-buih.html#sthash.rg2ovx8i.dpuf

Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya. Tapi siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya diselimuti kisah legenda.
      Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera. Plaza itu lenyap seiring pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan tetap  ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.
      Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai suami Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah raja putri pertama di Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja Makedonia).
      Versi cerita rakyat, kemunculan Putri Junjung Buih ke dunia pun bak dongeng. Ia ditemukan dan muncul dari atas buih melalui hasil pertapaan Lambung Mangkurat, Patih Kerajaaan Negara Dipa. Dari kejadian inilah lalu ia mendapat nama Putri Junjung Buih. Masyarakat di Desa Balukung, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala mempercayai ulakan (pusaran air) di daerah mereka adalah merupakan tempat kemunculan sang putri.
      Versi yang lebih mudah dicerna akal diungkapkan oleh Anggraini Antemas dalam bukunya “Orang2 Terkemuka dalam Sedjarah Kalimantan. Ia menyebutkan ratu berparas cantik dan sewaktu kecil bernama Galuh Cipta Sari ini lahir di suatu kampung bernama Bangkiling, Kabapaten Tabalong.
      “Masih gelap sebenarnya asal usul sejarah kelahiran putri ini. Tiada diketahui tahun kelahirannya dan siapa orangtuanya,” demikian Anggraini. Ia memperkirakan Junjung Buih lahir sekitar tahun 1280.
      Junjung Buih dipelihara oleh nenek tua bernama Ning Bangkiling. Semasa kanak-kanak ia mempunyai saudara angkat namanya Indung Sijarang dan Pujung, putri dan putra Ning Bangkiling.
      Ketiga orang anak ini kemudian dibawa oleh orangtuanya dari Kampung Bangkiling ke pedusunan Balangan yang terletak di lembah gunung Batu Piring. Gunung Batu Piring tak berapa jauh dari Paringin, ibukota Balangan. Di sinilah mereka dibesarkan.
      Pada suatu hari ketika Galuh Cipta Sari sedang mandi dan mencuci di Sungai Balangan, tiba-tiba ia tergelincir dan terjatuh ke dalam air. Ia hanyut dan dibawa arus. Lambung Mangkurat yang sedang bersemedi untuk mencari seorang raja akhirnya menemukan gadis yang hanyut terbawa arus itu. Ketika ditemukan oleh Lambung Mangkurat, Galuh Cipta Sari terapung-apung di sungai, diselubungi oleh buih besar.
      Ada beberapa permintaan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Lambung Mangkurat sebelum ia boleh membawa putri tersebut ke darat. Antara lain: Galuh Cipta Sari minta dibuatkan mahligai yang tiang utamanya dari batung batulis (bambu bersurat), kain langgundi yang ditenun oleh 40 dara di Candi.
      Setelah segala permintaannya dipenuhi, Galuh Cipta Sari bersedia dibawa Lambung Mangkurat ke keraton Negara Dipa. Galuh Cipta Sari kemudian dinobatkan menjadi raja, sesuai amanat almarhum ayah Lambung Mangkurat. Namanya diubah menjadi Putri Jung Buih yang artinya putri tersebut ditemukan di dalam sebuah buih raksasa. - See more at: http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/siapa-putri-junjung-buih.html#sthash.rg2ovx8i.dpuf
Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya. Tapi siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya diselimuti kisah legenda.
      Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera. Plaza itu lenyap seiring pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan tetap  ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.
      Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai suami Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah raja putri pertama di Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja Makedonia).
      Versi cerita rakyat, kemunculan Putri Junjung Buih ke dunia pun bak dongeng. Ia ditemukan dan muncul dari atas buih melalui hasil pertapaan Lambung Mangkurat, Patih Kerajaaan Negara Dipa. Dari kejadian inilah lalu ia mendapat nama Putri Junjung Buih. Masyarakat di Desa Balukung, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala mempercayai ulakan (pusaran air) di daerah mereka adalah merupakan tempat kemunculan sang putri.
      Versi yang lebih mudah dicerna akal diungkapkan oleh Anggraini Antemas dalam bukunya “Orang2 Terkemuka dalam Sedjarah Kalimantan. Ia menyebutkan ratu berparas cantik dan sewaktu kecil bernama Galuh Cipta Sari ini lahir di suatu kampung bernama Bangkiling, Kabapaten Tabalong.
      “Masih gelap sebenarnya asal usul sejarah kelahiran putri ini. Tiada diketahui tahun kelahirannya dan siapa orangtuanya,” demikian Anggraini. Ia memperkirakan Junjung Buih lahir sekitar tahun 1280.
      Junjung Buih dipelihara oleh nenek tua bernama Ning Bangkiling. Semasa kanak-kanak ia mempunyai saudara angkat namanya Indung Sijarang dan Pujung, putri dan putra Ning Bangkiling.
      Ketiga orang anak ini kemudian dibawa oleh orangtuanya dari Kampung Bangkiling ke pedusunan Balangan yang terletak di lembah gunung Batu Piring. Gunung Batu Piring tak berapa jauh dari Paringin, ibukota Balangan. Di sinilah mereka dibesarkan.
      Pada suatu hari ketika Galuh Cipta Sari sedang mandi dan mencuci di Sungai Balangan, tiba-tiba ia tergelincir dan terjatuh ke dalam air. Ia hanyut dan dibawa arus. Lambung Mangkurat yang sedang bersemedi untuk mencari seorang raja akhirnya menemukan gadis yang hanyut terbawa arus itu. Ketika ditemukan oleh Lambung Mangkurat, Galuh Cipta Sari terapung-apung di sungai, diselubungi oleh buih besar.
      Ada beberapa permintaan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Lambung Mangkurat sebelum ia boleh membawa putri tersebut ke darat. Antara lain: Galuh Cipta Sari minta dibuatkan mahligai yang tiang utamanya dari batung batulis (bambu bersurat), kain langgundi yang ditenun oleh 40 dara di Candi.
      Setelah segala permintaannya dipenuhi, Galuh Cipta Sari bersedia dibawa Lambung Mangkurat ke keraton Negara Dipa. Galuh Cipta Sari kemudian dinobatkan menjadi raja, sesuai amanat almarhum ayah Lambung Mangkurat. Namanya diubah menjadi Putri Jung Buih yang artinya putri tersebut ditemukan di dalam sebuah buih raksasa. - See more at: http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/siapa-putri-junjung-buih.html#sthash.rg2ovx8i.dpuf

Putri Junjung Buih 
Lukisan Putri Junjung Buih karya M Husni Thambrin. Foto: Yudi Yusmili - See more at: http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/siapa-putri-junjung-buih.html#sthash.rg2ovx8i.dpuf

Lukisan Putri Junjung Buih karya M Husni Thambrin. Foto: Yudi Yusmili

Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya. Tapi siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya diselimuti kisah legenda.

      Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera. Plaza itu lenyap seiring pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan tetap  ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.


      Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai suami Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah raja putri pertama di Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja Makedonia).


      Versi cerita rakyat, kemunculan Putri Junjung Buih ke dunia pun bak dongeng. Ia ditemukan dan muncul dari atas buih melalui hasil pertapaan Lambung Mangkurat, Patih Kerajaaan Negara Dipa. Dari kejadian inilah lalu ia mendapat nama Putri Junjung Buih. Masyarakat di Desa Balukung, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala mempercayai ulakan (pusaran air) di daerah mereka adalah merupakan tempat kemunculan sang putri.


      Versi yang lebih mudah dicerna akal diungkapkan oleh Anggraini Antemas dalam bukunya “Orang2 Terkemuka dalam Sedjarah Kalimantan. Ia menyebutkan ratu berparas cantik dan sewaktu kecil bernama Galuh Cipta Sari ini lahir di suatu kampung bernama Bangkiling, Kabapaten Tabalong.
      “Masih gelap sebenarnya asal usul sejarah kelahiran putri ini. Tiada diketahui tahun kelahirannya dan siapa orangtuanya,” demikian Anggraini. Ia memperkirakan Junjung Buih lahir sekitar tahun 1280.


      Junjung Buih dipelihara oleh nenek tua bernama Ning Bangkiling. Semasa kanak-kanak ia mempunyai saudara angkat namanya Indung Sijarang dan Pujung, putri dan putra Ning Bangkiling.


      Ketiga orang anak ini kemudian dibawa oleh orangtuanya dari Kampung Bangkiling ke pedusunan Balangan yang terletak di lembah gunung Batu Piring. Gunung Batu Piring tak berapa jauh dari Paringin, ibukota Balangan. Di sinilah mereka dibesarkan. 


      Pada suatu hari ketika Galuh Cipta Sari sedang mandi dan mencuci di Sungai Balangan, tiba-tiba ia tergelincir dan terjatuh ke dalam air. Ia hanyut dan dibawa arus. Lambung Mangkurat yang sedang bersemedi untuk mencari seorang raja akhirnya menemukan gadis yang hanyut terbawa arus itu. Ketika ditemukan oleh Lambung Mangkurat, Galuh Cipta Sari terapung-apung di sungai, diselubungi oleh buih besar. 


      Ada beberapa permintaan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Lambung Mangkurat sebelum ia boleh membawa putri tersebut ke darat. Antara lain: Galuh Cipta Sari minta dibuatkan mahligai yang tiang utamanya dari batung batulis (bambu bersurat), kain langgundi yang ditenun oleh 40 dara di Candi.


      Setelah segala permintaannya dipenuhi, Galuh Cipta Sari bersedia dibawa Lambung Mangkurat ke keraton Negara Dipa. Galuh Cipta Sari kemudian dinobatkan menjadi raja, sesuai amanat almarhum ayah Lambung Mangkurat. Namanya diubah menjadi Putri Jung Buih yang artinya putri tersebut ditemukan di dalam sebuah buih raksasa.



Terimakasih saya ucapkan kepada anda yang telah berkunjung dan membaca cerita ini, Mudahan cerita ini bermanfaat dan lebih menambah pengetahuan sejarah di Kalimantan Selatan. wassalam




Sumber : Wikipedia dan KabarBanjarmasin.com